Blogger Jateng

Satu Malam Terakhir Bersama Anaknya, Fitriani Menuntuk Keadilan!


 


Pada malam Sabtu yang sunyi, Fitriyani masih ingat jelas suara terakhir putranya. Muhammad Alfath Arrisky, 13 tahun, pamit seperti biasa—dengan nada ringan dan janji akan pulang sebelum tengah malam.

“Dia bilang cuma nongkrong sama temannya. Saya bilang jangan lama-lama, pulang cepat,” ucap Fitri, mengenang.

Namun malam itu berubah menjadi mimpi buruk yang tak pernah ia bayangkan. Anaknya, siswa kelas 2 SMP, tak pernah kembali. Ia bukan hanya tak pulang, tapi kembali dalam keadaan sudah tak bernyawa dengan tubuh tertembus peluru.

"Anak Saya Bukan Penjahat"

Sambil duduk menunggu persidangan di Pengadilan Militer Medan, Kamis (19/6/2025), Fitriyani menuturkan kisah yang kini jadi bekas luka terdalam dalam hidupnya.

Malam itu, setelah pamit, Alfath pergi naik motor. Sekitar pukul 23.00 WIB, Fitri sempat menelpon, dan anaknya menjawab seperti biasa: "Sebentar lagi pulang, masih sama kawan."

Namun takdir berkata lain.

Menjelang subuh, sekitar pukul 04.30 WIB, seorang pria mengetuk pintu rumah. “Bu, anak ibu di rumah sakit,” katanya. Fitri panik. Ia berlari, naik kendaraan, dan langsung menuju Rumah Sakit Sawit Indah Perbaungan.

Namun yang ia temukan bukan anak yang ia kenal—melainkan jasad dingin yang penuh luka.

“Dokter bilang peluru menembus dada sampai ke pinggang. Ada luka juga di wajahnya. Tapi saya nggak kuat melihat. Saya hanya tahu… anak saya sudah pergi.”

“Alfath Tak Pernah Pulang”

Menurut keterangan teman-teman korban, malam itu Alfath sedang berkumpul di depan Indomaret Kota Galuh. Diajak teman ke arah Jembatan Ular—diduga hendak tawuran. Alfath membawa motornya, membonceng dua teman.

Sesaat kemudian, beberapa remaja lari ke arah Hotel Deli Indah, dan Alfath menunggu di depan hotel. Tapi tak disangka, dua anggota TNI bersama empat sipil yang ada di dalam hotel, keluar dan mengejar para remaja.

Mereka membawa mobil Avanza dan mengejar hingga akhirnya terdengar suara tembakan. Salah satunya mengenai Alfath. Tubuh mungil itu roboh, terjerembab ke parit.

“Temannya kabur, anak saya lari… tapi kena peluru. Jatuh ke parit. Sampai sekarang saya nggak habis pikir, anak saya cuma anak SMP. Kenapa harus ditembak?” kata Fitri, suaranya bergetar.

Keadilan yang Terus Dikejar

Enam orang ditetapkan sebagai terdakwa. Dua di antaranya adalah anggota TNI: Serka Darmen Hutabarat dan Serda Hendra Fransisko Manalu, personel Kodim 0204 Deli Serdang. Empat lainnya warga sipil yang berperan sebagai pengantar korban ke rumah sakit dan sopir mobil.

Empat sipil telah divonis—hukuman antara 10 bulan hingga 4 tahun. Tapi untuk dua anggota TNI, sidang masih berjalan.

“Saya cuma minta satu: hukum yang adil. Jangan karena mereka berseragam, nyawa anak saya jadi seolah ringan. Tidak ada alasan yang bisa menggantikan nyawa anak saya,” ucap Fitri, pelan namun tegas.

Seorang Ibu, Sebuah Luka

Setahun lebih sejak peristiwa itu, Fitri tak pernah berhenti datang ke persidangan. Dengan langkah pelan dan hati yang patah, ia menagih satu hal: keadilan.

“Saya tidak cari sensasi. Saya tidak ingin balas dendam. Saya cuma ingin mereka dihukum seperti layaknya orang yang menghilangkan nyawa. Karena Alfath... anak saya... hanya salah satu anak SMP yang ingin pulang malam itu.”

Kini, setiap kali Fitriyani melihat kamar kosong anaknya, ia masih berharap suara motor itu terdengar. Bahwa pintu itu akan diketuk oleh Alfath, bukan kabar duka.

Namun itu tak akan terjadi.

Yang bisa ia lakukan sekarang adalah memastikan: kematian Alfath tidak dibiarkan sunyi.

Posting Komentar untuk "Satu Malam Terakhir Bersama Anaknya, Fitriani Menuntuk Keadilan!"